Sabtu, 31 Juli 2010

sundari

Bunga yang Berembun : Cerpen Sedih

24 Januari 2010 10.105 views 15 Comments
cerpen-tentang-kesedihan-sedihGadis itu melangkah dengan langkah memburu. Wahanya tampak pucat. Kantung matanya terlihat cekung dengan rambut yang dibiarkan kering dan tegerai kusut. Dia terus melangkah menyusuri koridor kampus dengan membawa beberapa buku tebal di tangan. Dia tak menoleh, hanya menunduk berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang kian memucat. Seperti biasa, saat di dalam kelas, dia selalu memilih tempat duduk di pojok.
“Bunga, wajahmu pucat sekali?” Sinta, sahabat barunya itu menoleh ke belakang. Baru dua minggu mereka saling kenal. Tapi Sinta seperti telah mengenal dekat sahabat barunya itu. Dia bahkan begitu peduli terhadap Bunga.
“Aku sudah biasa seperti ini.” Bunga berkata pelan sambil menundukkan wajahnya yang mengucurkan keringat.
“Tapi wajahmu hari ini pucat sekali,” Sinta melangkah ke belakang lalu duduk di sebelah Bunga. “Ayah dan ibumu bertengkar lagi ya?” tebak Sinta.
“Aku tak tahu. Mereka tidak ada di rumah…” Bunga menyahut dengan suara serak.
“Adik-adikmu bagimana?”
“Adik-adikku baik-baik saja.”
Sinta memerhatikan sekali lagi wajah sahabat barunya itu. Wajah Bunga tampak semakin pucat. “Kalau kau punya masalah, kau jangan malu cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantumu…”
“Jangan terlalu peduli padaku.”
“Jangan memaksakan diri jika kau tak mampu. Kau pasti memerlukan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahmu.”
“Sudah kukatakan jangan pedulikan aku!” Bunga menunjukkan sikap tidak sukanya.
“Aku merasa berdosa jika membiarkan seseorang yang tertimpa masalah menjadi tersiksa lantaran tak ada yang peduli. Apalagi kau, seorang sahabat yang pertama kali aku kenal di kampus ini…”
“Kau kira aku wanita lemah?!” Bunga berdiri dari duduknya lalu melangkah meninggalkan Sinta menuju pintu kelas.
“Bunga, kau mau bolos kuliah lagi?” teriak Sinta.
Bunga hanya diam. Sinta mengejarnya.
“Bila kau bolos lagi hari ini kau bisa dikeluarkan dari kelas ini!”
Bunga menoleh, menatap wajah Sinta dengan pandangan menusuk. “Kukira nasibku bukan ditentukan oleh mata kuliah hari ini. Hanya aku dan Tuhan saja yang bisa mengatur hidupku…!”
“Suatu saat nanti kau pasti menyesal.”
“Aku lebih menyesal lagi jika ke kampus tapi tidak mendapatkan apa-apa!”
“Kau menyindir aku?”
“Aku mengatakan ini pada diriku sendiri!” Tanpa rasa ragu sedikit pun Bunga melangkah ke luar kelas. Tak dipedulikannya lagi saat Pak Robert, dosen yang akan memberikan mata kuliah Ekologi Pemerintahan itu melongo di muka pintu, memerhatikan kepergiannya.
***
Bunga telah terkantuk-kantuk menonton televisi bersama kedua adiknya saat ibu pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. “Hei, kalian belum tidur…? Hhhh… sudah jam berapa ini heh…?” ibu melangkah sempoyongan. Tubunya lemah sekali.
“Kami mengkhawatirkan ibu… ibu akhir-akhir ini jarang pulang ke rumah…” Bunga memapah ibu duduk di sofa. Tubuh ibu yang berbau alkohol tercium begitu menyengat, menyumbat hidung. Membuat kedua adik Bunga takut lalu menggeser posisi duduk mereka ke sofa ujung.
“Kalian tak usah terlalu mengkawatirkan Ibu… hhhh… Ibu baik-baik saja. Ibu berbuat begini juga demi kalian. Dengan cara beginilah Ibu bisa mendapatkan uang…”
Keheningan menyergap sesaat. Udara malam terasa kian membeku.
“Apa Ibu tahu kalau ayah menikah lagi?” tanya Bunga dengan suara bergetar.
“Biarkan saja. Jangan urusi ayahmu lagi…!”
“Seharusnya ayah bertanggung jawab atas hidup kita…!” Bunga berkata dengan amarah yang menggebu.
“Ibu yang menyuruhnya menikah lagi!”
Hampir saja Bunga tersedak. Bunga membelalak tak percaya. Ibu?? Oh…
***
Raut wajah Bunga kian memucat. Hari ke hari dilaluinya dengan banyak menyendiri. Seperti saat ini, duduk termenung di tepi sungai dengan tatapan nanar penuh dengan kepedihan. Tiba-tiba seseorang datang mengahampirinya, menawarinya segelas teh botol dingin. Ternyata Sinta, sahabat barunya.
Bunga menoleh sesaat menatap wajah Sinta. Wajah itu tampak berseri. Terlihat sangat bahagia. Tidak seperti dirinya, yang selalu murung dengan mata lembab oleh air mata.
“Laki-laki itu sungguh ramah dan baik hati…” Sinta berkata tanpa diminta. Mungkin ia ingin membagi kebahagiaannya pada Bunga. Namun Bunga diam saja.. Tak ada senyum yang merekah di bibirnya.
“Coba kau lihat kalung ini,” Sinta memerlihatkan kalung yang melingkar di lehernya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Sinta.
“Kalung itu kalung mahal. Pas sekali di lehermu yang jenjang. Kau tampak semakin cantik,” ucap Bunga mulai bersuara.
“Bukan hanya kalung, laki-laki itu juga memberiku anting-anting dan beberapa gaun mahal.”
“Dia pacar barumu ya?” tanya Bunga.
“Bukan…”
“Lalu?”
“Dia… dia… ah, coba kau lihat ini!” Sinta mengambil sehelai foto pernikahan dari dalam dompetnya lalu memerlihatkannya kepada Bunga. “Pasangan yang serasi bukan?”
Bunga tak menyahut. Ada pisau yang menusuk di ulu hatinya yang membuat kedua matanya kembali mengembun.
“Dia papa buruku…” ucap Sinta kemudian. Embun di mata Bunga pun kian berguguran menoreh hatinya yang semakin terluka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar